Cerpen: Tak Apa Mati, Asal Jadi Sapi Kurban

Ilustrasi sapi dan kakek(Foto:Istimewa)
Munuris - Tak ada yang meminta, mau dilahirkan menjadi apa, dan dari kalangan apa, takdir membawaku menjadi makhluk berkaki empat bernama sapi.

Terlahir menjadi sapi tak pernah ku minta kepada tuhan, tapi takdir yang membawaku menjadi sapi, tengah malam sekitar pukul 01.00 dini hari, babonku melahirkanku.

Aku lahir setelah sebelumnya pemilikku menyuruh dokter hewan setempat menyuntikan sperma pejantan ke rahim ibuku. 280 hari aku di kandungan ibuku, aku tak tahu siapa ayahku bulu kecoklatan ini mungkin turunan darinya.

Ibuku tak memiliki bulu seperti itu, ibuku adalah sapi lokal berwarna putih bersih. Kelahiranku memberi kabar baik bagi penggembala tua yang tinggal di rumah reot dari bambu, berdinding dari anyaman bambu yang sudah mulai aus. Bahkan perbedaan kandang tempatku dilahirkan dengan rumahnya hanya dibedakan dinding gedek saja. 

Ia sangat antusias menantikan kelahiranku, dengan amben dari bambu yang hanya muat digunakannya untuk berbaring, ia selalu tidur bersebelahan dengan kandang. Tujuannya jelas, ia menungguku lahir.

Tempat waktu penantiannya tiba, ibuku melenguh keras “Mou,” dan aku pun dilahirkan. Kakek tua itu sangat sumringah atas kelahiranku, kalimat yang diucapkan pertama kali oleh penggembala tua itu singkat dan jelas.

 “Alhamdulillah jantan,”.

Selepas bersyukur ia mengambil handuk yang telah disiapkan untuk membersihkan tubuhku, dia meletakkanku di tempat yang agak aman agar tak terinjak babonku.

Waktu berjalan cepat aku sudah berusia 3 tahun. Tinggal di rumah reot sendirian ia sangat sepenuh hati merawatku bahkan aku dan ibuku menjadi teman curhat baginya ketika ia pulang mencari rumput di sawah.

Keringatnya menetes, nafasnya tak beraturan, tapi ia akan tersenyum jika aku dan ibuku memakan rumput hasil mengaritnya dengan lahap dan habis tak tersisa.

Usai memberikan kita makan ia tak langsung istirahat ia akan mengisi air di jerigen 30 liter untuk nantinya dituang di bak tempat kami minum.

Setelah memberi makan dan minum sapinya, kakek tua itu akan mandi, dan kembali beristirahat di amben bambu favoritnya itu. Kenyamanan memang tak harus dengan bermewah, semua orang memiliki standar kenyamanannya sendiri-sendiri.

Dengan mendengarkan Radio jadul, yang suaranya terdengar lirih karena speaker sudah mulai menua seperti pemiliknya, ia tidur di amben tersebut.

Jam menunjukkan pukul 13.00, kakek itu pasti terbangun mengambil wudhu dan bergegas sholat dzuhur kewajiban yang pasti ia laksanakan, ia memang orang yang rajin menjalankan perintah sholat 5 waktu, mungkin hanya dengan cara itu, ia dapat mencari ketenangannya selain di kandang.

Atau mungkin, itu caranya untuk menyampaikan rindunya kepada anak dan istrinya yang sudah terlebih dahulu kembali ke pencipta.

Sekitar pukul 13.30 tiba-tiba pria berumur 40 tahun datang ke rumahnya, dengan jaket kulit pria itu mengucapkan salam dan mencoba memanggil kakek tersebut.

“Assalamu’alaikum, mbah,” ucapnya.

Sang kakek dengan sarung berwarna biru dan songkok yang sudah mulai berubah warna menjadi kemerah-merahan keluar.

“Waalaikumsalam geh, monggo pinarak (silahkan masuk),” jawabnya.

Laki-laki berjaket kulit itu duduk dan membicarakan sesuatu dengan kakek itu, tak lama kedunya ke kandang dan melihat induk ku, tak banyak bicara ia kemudian duduk di amben, kakek itu menyusul duduk. 

“Pripun mbah Rp15 juta,” ujar Pria berjaket kulit.

Kakek itu pun meminta agar harga dinaikkan sedikit, namun pria itu sudah pas dengan harga tersebut. Kakek itu menyerah dan melepaskan di harga Rp15 juta.

Kakek itu meneteskan air mata, bukan karena masalah harga yang gak cocok. Namun, karena ia merasa berat hati melepas sapi betina yang setiap hari menjadi temannya, selain itu banyak cerita dibalik pembelian sapi betina ini.

Kakek tua itu bercerita kepada sang pedagang sapi tersebut, jika ia dulu memiliki satu anak laki-laki yang harus meninggal dunia pada usia 14 tahun karena sakit tipes, kala itu ia dan sang istri tak memiliki cukup uang untuk memeriksakan anaknya tersebut.

Pemerintah mulai dari tingkat desa hingga kabupaten tak bisa diandalkan, mereka selalu berbelit dengan prosedural sarat ini itu.

Datang nekat ke rumah sakit minta tolong hanya penolakan demi penolakan diterimanya, tak ada yang berbelas kasihan bahkan dokter yang bergaji puluhan juta tak mau memberikan belas kasihan. 

SEMUANYA SAMA HANYA BERBICARA SYARAT YANG HARUS TERPENUHI.

Meninggalnya sang putra sangat membuatnya terpukul, 3 bulan ia selalu menangis bersama sang istri karena ditinggalkan anak semata wayangnya.

Bekerja sebagai buruh di sawah hanya cukup untuk memenuhi makan sehari bersama sang istri. 

5 tahun terlewati pasca meninggalnya sang putra, kakek tua ini harus menelan pil pahit lagi, wanita yang menemaninya selama 30 tahun turut menyusul sang putra, Ia meninggal karena sakit.

Hari-hari kakek itu selalu di iringi dengan mendung kesedihan, ia butuh teman cerita, yang mau mendengarkan segala keluhnya. Tabungan kala itu hanya ada Rp5 juta lantas ia berpikir untuk dibelikan anakan sapi betina, tujuannya agar saat pulang dari sawah ia ada kegiatan yang tak membuatnya termenung hanyut dalam kesedihan. Selain itu, usia yang semakin tua juga menjadikannya, jarang mendapat pekerjaan di sawah, sapi ini sebagai tabungannya. 

Ngobrol lama Pria berjaket kulit itu bertanya “Sapi lanange mboten di sade mabah ? (Sapi yang jantan gak dijual?),” ucapnya.

Kakek ini bilang, dengan suara yang bergetar usai bercerita tadi, jika sapi jantan akan ada peruntukannya sendiri. 

Tak lama mobil pickup datang, dan ini kala terakhir aku melihat indukan ku, sepertinya Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah tempat terakhir baginya. Sebab, ia sudah tua dan tak bisa beranak lagi, aku adalah anak terakhirnya.

Saat ini aku tinggal berdua sama kakek tua ini, usai menerima uang ia berucap sendiri, jika uang Rp15 juta akan dibelikan anakan sapi betina, dan sisa uang akan ditabung buat persiapannya kala ajal menjemput.

Ia memang tengah menabung untuk membeli kain kafan dan perlengkapan menuju rumah terakhirnya, tinggal sebatang kara tak punya anak dan saudara, ia tak mau merepotkan orang lain jika meninggal.

Seminggu aku sendirian di kandang, pukul 22.00 kakek itu datang, seperti biasa ia memastikan apakah aku baik-baik saja, ia bergeming sendirian jika 3 hari lagi adalah hari raya Iduladha atau hari raya kurban.

Ia meminta maaf kepadaku jika selama ini pakan dan minumnya kurang, ia akan menjalankan ibadah kurban, dan yang akan dikurbankan adalah aku, ia sudah merencanakan dari dulu jika indukanku melahirkan sapi jantan maka sapi itu akan dikurbankan dengan niatan untuk dirinya, istrinya, dan anaknya.

Aku tak bisa apa-apa, sebagai sapi aku hanya bisa berpasrah. Toh, sapi tak akan berusia lama. 3 tahun adalah usia yang lama bagi sapi, namun dengan suka cita aku tahu aku bakal mati kapan dan untuk apa.

Setidaknya aku mati menjadi sapi kurban.

Aku akan tunggu sang kakek di dunia lain, dan nantinya aku akan menjadi tunggangannya dan keluarganya disana.

Aku sangat suka cita.

Dagingku akan bermanfaat bagi para fakir miskin yang jarang makan daging, dan aku bisa membahagiakan kakek yang hidupnya penuh kepahitan ini.

Aku tahu ia merawatku dengan penuh kasih sayang bak keluarganya sendiri dan benar aku menjadi sapi yang beruntung karena dijadikan sapi kurban, aku menjadi bagian dari keluarganya di dunia lain.

Waktu tiba.

Takbir berkumandang, orang-orang berpakaian putih datang ke masjid, aku pun sudah dalam keadaan bersih dari kotoran kandang aroma wangi tercium dari sela bulu-buluku.

Ikat sapi mulai dilepas dari patok bambu. Kakek menyuruh remaja masjid menuntunku ke masjid, aku tak melawan aku ikut mereka dengan pasrah.

Sampai di masjid kiai desa berdoa aku tahu hidupku tak lama lagi, doa selesai dikumandangkan. Kakek itu datang menghampiriku ia menangis sejadi-jadinya karena bisa menjalankan ibadah kurban dan melihat sapi yang sudah seperti keluarganya akan meninggalkannya.

teteskan air mataku sebagai ucapan perpisahan, mataku menatapnya, berharap ia bisa ikhlas dan merelakan kepergianku, untuk menemui istri dan anaknya, ia berhenti menangis sepertinya ia tahu pesan yang tak sampaikan bahwa ia harus ikhlas melepas.

Tali-tali diikat di kakiku, aku terjatuh ke tanah, mataku terus mencari dimana kakek itu berada, aku ingin melihatnya terakhir kali, ternyata ia tampak menahan tangis, sesekali bahunya mengusap ke matanya untuk menghilangkan airmata.

Kiai datang, mataku ditutup oleh daun pisang, leherku terasa ada sesuatu, satu ayunan darah di tenggorokan menyembur. Aku tak tahan, terasa tak bisa nafas, aku mencoba menahan semua ini, tapi tak bisa. Aku meronta-ronta pandanganku gelap, daun pisang itu di buka aku melihat kakek itu lagi tapi samar.

Aku tak bisa bernafas, mataku benar-benar gelap, tak bisa melihat apapun. Sepertinya, aku akan mati dalam hitungan detik, tubuhku sudah lemas dan tak bisa bergerak.

Akhirnya, nafasku habis, aku mati.

Kek akan kusampaikan pesanmu ke keluargamu kan ku ceritakan kebaikanmu, kita akan menunggumu disana, terimakasih menjadikanku sapi yang beruntung dengan menjadi sapi kurban.

Selesai

0 Komentar

Type above and press Enter to search.