Punk Dan Angan Yang Hampir Hilang
![]() |
| Ilustrasi punk (Foto:istimewa) |
Tak sekedar rumah singgah, ia menceritakan bahwa ada beberapa pelatihan skill juga untuk anak-anak jalanantersebut. Dengan harapan, nantinya mereka bisa mandiri.
Aku terkesima dengan ceritanya, dalam hati aku juga ingin seperti itu, mungkin aku bisa belajar banyak hal kepadaayahnya tentang hal baik tersebut.
la masih semangat menceritakan tentang rumah singgah tersebut. Namun sayang rumah singgah tersebut tak beroperasi lama.
Alasannya karena ibu dari temanku tersebut kurang setuju dengan rumah singgah tersebut lantaran biaya, selain itu patner yg kurang progresif, hingga peralatan yang dibawa kabur (anak jalanan).
Dengan cerita tersebut. Dalam hati "Sepertinya kelak kita bisa merintisnya bersama pak,".
Dan sebenarnya, angan tersebut sudah hampir hilang diingatanku. Terlebih aku dan temanku semakin jauh. Namun pulang ngopi, dengan pikiran yang tak baik-baik saja, berniat berhenti di minimarket untuk sekedar beli kopi dan melepaspenat, aku berhenti di minimarket. Sepeda ku parkir.
Tampak jelas ada seorang anak punk berdiam diri di depan pintu minimarket tersebut, beberapa orang keluar memberikan uang receh sisa kembalian dari kasir.
Anak punk tersebut dengan senyumankecil mengatakan "Makasih ya om,".
Masuk minimarket aku beli dua gelas kopi, satu untuknya. Kita ngobrol panjang bahkan hampir setengah jam, bagimana ia bisa hidup dijalan hingga harapannya kedepan.
Dalam obrolan tersebut ia sebenarnya tak ingin seperti ini terus, ia memiliki harapan membuat sebuah toko kelontong. Namun ia sadar untuk itu butuh biaya yang lumayan.
Ia berharap agar bisa bekerja dulu, guna mengumpulkan uang sebelum membuka toko. Sayang menjadi punk sejak kelas 4 SD, menjadikannya sulit melamar kerja. Karena, terganjal persyaratan yangmengharuskan adanya legalitas ijazah.
Kemudian aku bercerita akan angan yang hampir hilang dari ingatanku tersebut, kita ngobrol sekitar 15 menit, dan menurutnya itu adalah hal yang baik.
Sebenarnya dulu ia juga pernah di tawari mondok di Mojokerto oleh seseorang, dan ia menerima tawaran tersebut.
Sayangnya karena administrasi wakil kepala sekolah menyuruhnya mengambil identitas-identitas diri agar tak seperti maling. Yang ia rasakan saat mondok ia merasa senang dan kerasan. Saat soan kiyai ia di larang pulang dan disuruh disitu saja.
Namun karena tuntutan wakil kepalasekolah ia tetap pulang ia dikasih biaya pulang oleh kiyai, sayang karena sakit hati di samakan dengan maling, ia kemudian pulang dan tak kembali.
Melihat cerita anak ini sebenarnya mereka juga butuh sebuah wadah pembelajaran untuk masa dedepannya yang tak mengharuskan keformalan/legalitas ijazah atau lain sebaginya. Cukup kemauan saja. Hal ini yang harusnya dilakukan guna memberi wadah bagi anak" jalanan untuk berkembang.
"Terimaksih waktunya mas," ucapku pamit.
Sembari ada uuang Rp10 ribu sisa beli kopi, ku berikan kepadanya, dengan rendah hati ia menolak dan mengatakan jika kopi sudah cukup.
Sadar perjalannannya masih panjang aku paksa dia agar mau menerima walau gak banyak. la kemudian menerima dan mengucapkan beberapa kalimat semoga kepadaku.
Sesampainya di rumah. Eh, ada sedikit kabar baik, untuk sedikit memperpanjang harapan. Alur hidup ancen sulit di tebak.

0 Komentar